senin, 18 november 2013 00:12 WIB
Angklung, "Ngangkleung" di Arus Kurikulum
Oleh : Hardianto
SECARA
etimologi kata angklung diambil dari "angkleung", (bahasa Sunda).
Selanjutnya mengalami perubahan gramatikal menjadi
"angkleung-kangkleungan" keadaan suatu benda yang terbawa arus air. Di Bali,
kata angklung merupakan frase yang disingkat dari "angka" (nada) dan
"lung" (hilang), yang diartikan bahwa ketika dimainkan maka ada nada
yang hilang. Teknik dasar bermain angklung adalah digetarkan, jarak dari
satu getaran ke getaran lainnya meninggalkan waktu antara dalam
hitungan satuan detik.
Melihat sudut etimologi angklung yang memiliki dua akar bahasa tersebut, maka membuka peluang penelitian mengenai asal-usul angklung dengan lebih luas. Apakah itu memang seperti yang sudah diterima secara umum, yaitu berasal dari Pulau Jawa bagian barat, atau ada kemungkinan bahwa angklung berasal dari daerah lain. Apalagi jika dilihat, rumpun alat kesenian yang berasal dari rumpun bambu disinyalir sudah berkembang pada masa sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Indonesia.
Angklung sebagai warisan nenek moyang kita merupakan salah satu alat musik yang sifatnya kini tidak lagi bersifat lokal kedaerahan. Semenjak upaya Daeng Soetigna yang kemudian dilanjutkan Udjo Ngalagena dan murid-murid lainnya seperti Obby A.R., Eddy Permadi, dll., angklung berkembang menjadi alat musik yang kini dimainkan bukan hanya di Indonesia. Apalagi sejak 16 November 2010, angklung telah diakui dan masuk ke dalam daftar warisan dunia yang ditetapkan UNESCO, sebagai lembaga dunia yang berperan dalam menangani masalah-masalah seperti ini, menyusul keris, wayang, dan batik yang sudah terlebih dulu diakui. Pengakuan ini merupakan bentuk pengakuan masyarakat dunia terhadap eksistensi angklung sebagai karya agung manusia Indonesia di masa lalu.
Pengakuan angklung yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan masyarakat sudah diakui negara dengan turunnya SK Mendikbud No. 082/1968. Hal ini memberi bukti, angklung layak dijadikan sebagai alat pendidikan. Fungsi alat pendidikan musik dan pendidikan karakter jelas tertera dalam surat keputusan tersebut. Sehingga instruksi diberikan bukan hanya kepada departemen terkait, departemen lain pun dianjurkan untuk menggunakan angklung dalam melakukan pendidikan musik, bahkan lebih jauh lagi pendidikan karakter.
Tahun 2013 ini adalah tahun ketiga setelah angklung diakui UNESCO atau 45 tahun diturunkannya SK menteri tentang penggunaan alat musik ini. Namun keberadaan angklung di sekolah-sekolah belum berubah, tetap "ngangkleung" di tengah kuatnya arus modernisasi sebagai acuan konstruksi kurikulum yang digunakan. Angklung hidup di tengah-tengah konsep "ekstrakurikuler" yang diikuti siswa yang "mau" memainkannya. Sementara hanya beberapa sekolah yang menempatkan angklung sebagai hal yang lebih pantas ditempatkan di dalam kurikulum sendiri.
SD Labschool, SMP Waringin, dan SMA Pasundan, merupakan sekolah di Kota Bandung yang penulis ketahui memasukkan angklung dalam proses pembelajarannya. Walaupun hanya diberi porsi 1 jam pertemuan untuk setiap minggunya, namun hal itu merupakan upaya yang layak diapresiasi sebagai sesuatu yang luar biasa di tengah derasnya tekanan pencapaian tujuan kurikulum yang ditetapkan.
Bila mengajarkan angklung, kita sudah melakukan tiga hal pokok yang tidak bisa dianggap kurang penting di antara kedudukan mata pelajaran yang lain, khususnya dalam pembentukan national character building. Ketiga hal tersebut meliputi 1) angklung adalah media pendidikan musik; 2) angklung merupakan media pendidikan karakter yang sangat praktis; 3) angklung merupakan alat pewarisan budaya bangsa, baik langsung dari sisi kebendaan maupun tidak langsung dari sudut pewarisan nilai-nilai intrinsik yang ada di dalamnya.
Tahun 2014 nanti merupakan tahun evaluasi bagi angklung. Jika pemerintah dan masyarakat belum bisa membuktikan upaya pewarisan serta peningkatan fungsi kegunaannya, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Hal itu semaksimal mungkin harus dihindari. Bukan hanya masalah eksistensi alatnya, tapi yang lebih penting adalah harga diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Melihat sudut etimologi angklung yang memiliki dua akar bahasa tersebut, maka membuka peluang penelitian mengenai asal-usul angklung dengan lebih luas. Apakah itu memang seperti yang sudah diterima secara umum, yaitu berasal dari Pulau Jawa bagian barat, atau ada kemungkinan bahwa angklung berasal dari daerah lain. Apalagi jika dilihat, rumpun alat kesenian yang berasal dari rumpun bambu disinyalir sudah berkembang pada masa sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Indonesia.
Angklung sebagai warisan nenek moyang kita merupakan salah satu alat musik yang sifatnya kini tidak lagi bersifat lokal kedaerahan. Semenjak upaya Daeng Soetigna yang kemudian dilanjutkan Udjo Ngalagena dan murid-murid lainnya seperti Obby A.R., Eddy Permadi, dll., angklung berkembang menjadi alat musik yang kini dimainkan bukan hanya di Indonesia. Apalagi sejak 16 November 2010, angklung telah diakui dan masuk ke dalam daftar warisan dunia yang ditetapkan UNESCO, sebagai lembaga dunia yang berperan dalam menangani masalah-masalah seperti ini, menyusul keris, wayang, dan batik yang sudah terlebih dulu diakui. Pengakuan ini merupakan bentuk pengakuan masyarakat dunia terhadap eksistensi angklung sebagai karya agung manusia Indonesia di masa lalu.
Pengakuan angklung yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan masyarakat sudah diakui negara dengan turunnya SK Mendikbud No. 082/1968. Hal ini memberi bukti, angklung layak dijadikan sebagai alat pendidikan. Fungsi alat pendidikan musik dan pendidikan karakter jelas tertera dalam surat keputusan tersebut. Sehingga instruksi diberikan bukan hanya kepada departemen terkait, departemen lain pun dianjurkan untuk menggunakan angklung dalam melakukan pendidikan musik, bahkan lebih jauh lagi pendidikan karakter.
Tahun 2013 ini adalah tahun ketiga setelah angklung diakui UNESCO atau 45 tahun diturunkannya SK menteri tentang penggunaan alat musik ini. Namun keberadaan angklung di sekolah-sekolah belum berubah, tetap "ngangkleung" di tengah kuatnya arus modernisasi sebagai acuan konstruksi kurikulum yang digunakan. Angklung hidup di tengah-tengah konsep "ekstrakurikuler" yang diikuti siswa yang "mau" memainkannya. Sementara hanya beberapa sekolah yang menempatkan angklung sebagai hal yang lebih pantas ditempatkan di dalam kurikulum sendiri.
SD Labschool, SMP Waringin, dan SMA Pasundan, merupakan sekolah di Kota Bandung yang penulis ketahui memasukkan angklung dalam proses pembelajarannya. Walaupun hanya diberi porsi 1 jam pertemuan untuk setiap minggunya, namun hal itu merupakan upaya yang layak diapresiasi sebagai sesuatu yang luar biasa di tengah derasnya tekanan pencapaian tujuan kurikulum yang ditetapkan.
Bila mengajarkan angklung, kita sudah melakukan tiga hal pokok yang tidak bisa dianggap kurang penting di antara kedudukan mata pelajaran yang lain, khususnya dalam pembentukan national character building. Ketiga hal tersebut meliputi 1) angklung adalah media pendidikan musik; 2) angklung merupakan media pendidikan karakter yang sangat praktis; 3) angklung merupakan alat pewarisan budaya bangsa, baik langsung dari sisi kebendaan maupun tidak langsung dari sudut pewarisan nilai-nilai intrinsik yang ada di dalamnya.
Tahun 2014 nanti merupakan tahun evaluasi bagi angklung. Jika pemerintah dan masyarakat belum bisa membuktikan upaya pewarisan serta peningkatan fungsi kegunaannya, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Hal itu semaksimal mungkin harus dihindari. Bukan hanya masalah eksistensi alatnya, tapi yang lebih penting adalah harga diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.
(Penulis, pengajar di SMP Waringin Bandung)**
http://www.klik-galamedia.com/angklung-ngangkleung-di-arus-kurikulum
No comments:
Post a Comment