Angklung
di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan
terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk
hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada
yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di
Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar
ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh
hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari
sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua
kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim
menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang
disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan)
angklung setelah dipakai. Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual. Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk. Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut. sumber : http://website.informer.com/visit?domain=parekraf.go.id |
DONASI PENGEMBANGAN
DONASI PENGEMBANGAN
A/N. HARDIANTOREKENING BCA : 2839671258
Friday, 31 January 2014
Seni Angklung yang Unik
Tuesday, 28 January 2014
Angklung yang Tak Lagi `Nyunda`
Citizen6, Jakarta: Siapa yang tak kenal angklung? Alat musik khas Jawa Barat itu sudah mendunia. Bahkan, kini telah menjadi salah satu ikon negara Indonesia. Nah, angklung yang sudah kepalang famousitu rupanya memiliki "anak" yang tak kalah uniknya! Seperti apa anakan angklung itu?
mitos pada Nyi Sri Pohaci sebagai Dewi Padi, pemberi kehidupan.
Cara memainkan angklung sangat unik, hanya dengan menggoyang-goyangkannya saja, bunyi yang bergetar terdengar saling bersahutan. "Klung klung klung" begitulah bunyinya. Berbeda dengan angklung, calung lebih dinamis. Cara memainkan calung lebih mudah, yaitu dengan memukul batang (wilahan) dari ruas-ruas tabung bambu. Ruas-ruasnya sudah tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la).
Calung, yang merupakan prototipe dari angklung, memiliki unsur seni pertunjukkan. Alat musik ini dimainkan di dalam sebuah pertunjukkan tari dan musik yang biasanya dilakoni oleh kaum jajaka 4 atau 5 orang. Dengan menggunakan iket (ikat kepala khas Jawa Barat), pangsi dan kampret (busana khas Jawa Barat), mereka menari dan menyanyi sambil memainkan calung.
Ada dua bentuk calung Sunda, yaitu calung rantay dan calung jinjing. Pada calung rantay, bilah tabung dideretkan dari yang terbesar sampai yang terkecil. Jumlahnya 7 ruas atau lebih. Cara memainkannya adalah dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersila. Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu. Calung ini terdiri dari empat atau lima buah tabung bambu. Cara memainkannya adalah dipukul dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menjinjing alat musik tersebut.
Calung jinjing merupakan calung yang paling berkembang dan dikenal masyarakat Sunda. Pengemasannya pun lebih menarik. Dalam menampilkan pertunjukkan seni calung jinjing, biasanya diikuti irama musik lainnya seperti kacapi, biola, keyboard, dan gitar. Biasanya, terdapat unsur komedi dalam pertunjukkan tersebut. Lakonnya pun menyanyi dan menari mengikuti irama. Hal inilah yang kemudian menyebabkan unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga melahirkan beberapa vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos dan Hendarso.
Anglung dan Calung Masa Kini
Meskipun calung terkenal di kalangan masyarakat Sunda, namun tetap saja namanya tak sebesar induknya. Ya, angklung memang telah mendunia. Namun, tahukah teman-teman bahwa angklung atau calung itu sudah tidak lagi nyunda?
Nyunda di sini maksudnya adalah lekat sekali dengan budaya Sunda yang diterapkan sedari zaman dulu kala. Kini, permainan angklung yang mendunia sekali pun mengenalkan angklung yang diatonis (do-re-mi-fa-sol-la), bukan yang pentatonis, tradisionalnya Sunda. Padahal, budaya yang seharusnya sudah mendarah daging itu masih melekat di hati dan pikiran generasi muda sekarang. Belakangan, alat musik tradisional sudah termakan arus waktu. Kini alat musik modern merajai hati masyarakat. Permainan angklung sudah berbeda, dan calung pun hilang tenggelam.
“Ayeuna mah rasa cinta musik tradisional anak muda teh kalah dari rasa cinta ka alat musik budaya barat. Itu, yang sekarang banyak di acara musik televisi," ujar Wigandi, budayawan Sunda dari Bandung.
Ia memaparkan kecanggihan tekknologi yang pesat menjadi salah satu penyebab tergerusnya budaya bangsa kita. Mengenai angklung dan calung pun, tak banyak anak muda masa kini yang mengenalnya. Bahkan, masyarakat Sundanya sendiri pun tak banyak.
Pertunjukkan musik tadisional pun sudah jarang ditemui. Khususnya di daerah Jawa Barat. Padahal pertunjukkan musikal seperti calung sangat menarik untuk disaksikan. Tentu saja, sangat berpengaruh untuk menambah nilai budaya bangsa kita.
Sebagai generasi penerus bangsa, alangkah baiknya kita lebih mengenal budaya kita sendiri. Angklung dan calung hanyalah salah satu contoh dari berbagai budaya lainnya di Indonesia. Alat musik tradisional ini layak sekali untuk kita lestarikan dan kenalkan di muka dunia. Tidak hanya majunya teknologi yang mempengaruhi kekayaan bangsa kita, namun budaya kita pun mampu menjadi aset negara. Rindukah teman-teman akan suara nyaring alat musik tradisional yang dimainkan anak-anak seperti dulu? Hal manis seperti itulah yang sayangnya kini sungguh langka ditemui. (mar)
Penulis
Hegar Purina
Jakarta, hegarpurxxx@gmail.com
Hegar Purina
Jakarta, hegarpurxxx@gmail.com
sumber : http://news.liputan6.com/read/793826/angklung-yang-tak-lagi-nyunda
Monday, 27 January 2014
History of Angklung (Indonesian Traditional Music Instrument)
History of Angklung
The word Angklung originated from two words angka and lung. Angka means “tone”, and lung means “broken” or “lost”. Angklung then means as an incomplete tone.Angklung is a musical instrument made out of two bamboo tubes attached to a bamboo frame. The tubes are carved so that they have a resonant pitch when struck. The two tubes are tuned to octaves. The base of the frame is held with one hand while the other hand shakes the instrument rapidly from side to side. This causes a rapidly repeating note to sound. Thus each of three or more angklung performers in an ensemble will play just one note and together complete melodies are produced.Angklung is popular throughout Southeast Asia, but originated fromIndonesia and it has been used and played by the Sundanese since the ancient times.
In the Hindu period and the era of the Kingdom of Sunda, the angklung played an important role in ritual ceremonies such as ngaseuk pare,nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, heleran, etc. These ceremonies were inherent to Sundanese communities; in courtly and everyday living. In its function as the ritual medium, the angklung was played to honor Dewi Sri, the goddess of fertility, in a hope that their life and land will be blessed. Angklung is also used to signal time for prayer[citation needed]. Later, in Kingdom of Sunda these instruments were used as martial music in the Bubat War (Perang Bubat) as told in the Kidung Sunda.
The angklung functioned to build community spirit. Because of this, the playing of the angklung was forbade during the Dutch occupation of Indonesia. Because of this, the popularity of the instrument decreased and it came to be played only by children.[citation needed]
The oldest angklung still exist is called Angklung Gubrag. The angklung was made in the 17th century in Jasinga, Bogor. Nowadays, some of those older angklung remain in Sri Bduga Museum, Bandung.
As time flown by, the angklung received a more international attention. In 1938, Daeng Soetigna, from Bandung, created angklung that is based on the diatonic scale instead of the traditional pélogor sléndro scales. Since then, angklung has been used for educational and entertainment purposes and are able to accompany western music instruments in an orchestra. One of the first well-known performances of angklung in an orchestra was during the Bandung Conference in 1955.Udjo Ngalagena, a student of Daeng Soetigna, opened his “Saung Angklung” (House of Angklung) in 1966 as a centre for its development.
UNESCO designated angklung as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on November 18, 2010. As part of the acknowledgment, UNESCO insisted that Indonesia preserve their heritage.
sumber : http://mannaismayaadventure.com/2011/01/01/history-of-angklung-indonesian-traditional-music-instrument
Saturday, 25 January 2014
Wabah Korupsi Menjalar ke Berbagai Lini
fajri-job |
SEJUMLAH pencinta angklung memainkan musik plus tarian dalam pembukaan Angklung Vaganza di Plaza Balai Kota, Jln. Wastukancana, Bandung, Sabtu (13/10). |
RATUSAN seniman angklung dari berbagai sanggar maupun
sekolah yang ada di Jabar dan Yogyakarta, memenuhi area Balai Kota
Bandung, Sabtu (13/10). Mereka merupakan peserta Angklung Vaganza
Antikorupsi, sebuah pergelaran musik angklung sambil kampanye gerakan
antikorupsi yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
bekerja sama dengan Pemkot Bandung dan Masyarakat Musik Angklung (MMA).
Bukan hanya itu, ribuan angklung pun disebar panitia untuk dimainkan
para peserta di dua panggung yang berbeda. Sementara di salah satu sudut
arena, berdiri tegak enam buah angklung melodi besar, berukuran tinggi
sekitar 3,5 meter yang terbuat dari awi gombong. Tentunya angklung
raksasa ini menjadi sasaran “tembak” kamera pengunjung yang memadati
area lokasi acara.
Dari sekian banyak grup, sanggar, maupun sekolah yang hadir dalam Angklung Vaganza Antikorupsi tersebut, para siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 24 Bandung terlihat yang paling serius. Pasalnya, mereka mendapat kehormatan untuk membawakan lagu “Jujur Bisa Jujur Karena Angklung” oleh gurunya, Hardianto. Lagu tersebut hasil karya cipta lagu angklung antikorupsi untuk melawan koruptor dan menjadi juara.
“Jelas kami merasa bangga mendapat kepercayaan membawakan lagu antikorupsi dan menjadi juara satu,” ujar Erda Octadayani siswi kelas 12 IPA 2, satu dari 35 siswa SMAN 24 Bandung saat ditemui di Plaza Balai Kota Bandung, kemarin.
Lagu yang berisi tentang imbauan jangan korupsi kepada masyarakat, menurut Erda sangat sulit, karena waktu yang diberikan untuk latihan sangat sempit, yakni sekitar dua minggu. Selain itu, nadanya cukup banyak, dan satu sama lain saling mengisi, sehingga menyulitkan mereka untuk berlatih. “Namun dengan ketekunan dan kesabaran, kami bisa memainkan lagu tersebut,” katanya.
Berbagai lini
Ketua Umum Masyarakat Musik Angklung, Obby A.R. Wiramihardja selaku penyelanggara kegiatan menyebutkan, kegiatan tersebut merupakan program Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Menurut Obby, upaya untuk mengampanyekan antikorupsi harus dilakukan di berbagai bidang. Karena, wabah korupsi diakuinya sudah menjalar ke berbagai lini kehidupan.
“Kampanye antikorupsi melalui musik angklung bagi saya sah-sah saja. Karena memainkan musik angklung banyak mengandung nilai filosofinya. Antara lain mengajarkan kedisiplinan, kekompakan dalam kebaikan, dan mengajarkan kejujuran,” ujar Obby saat ditemui wartawan seusai menjadi pembicara pada talkshow tentang angklung pada even tersebut.
Dia menyebutkan, sebaiknya para seniman angklung belajar musik pada angklung. Karena dari angklung ini banyak nilai dan makna yang bisa digali dan dipelajari. Satu alat musik angklung hanya memiliki satu nada, tidak lebih. Apabila satu musik angklung dimainkan lebih dari satu kali atau kurang, maka si pemainnya telah berlaku “korupsi”.
“Inilah yang ingin disampaikan kepada masyarakat tentang korupsi melalui alat musik angklung,” ujarnya.
Mengurangi kualitas
Selain itu, Obby pun menyoroti perajin angklung saat ini, setelah angklung diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Banyak perajin yang mengurangi kualitas dari musik angklung yang dihasilkan, kemudian disebar atau dijual ke berbagai sanggar maupun sekolah.
“Saya menyebutnya, itu mah suluh (kayu bakar, red), bukan angklung. Semua itu merupakan bagian dari korupsi,” tandasnya.
Karena itu, Obby mengimbau kepada para perajin alat musik angklung untuk meningkatkan kualitas angklung yang dibuatnya. “Jangan sampai alat musik angklung yang dibuat menjadi bumerang dan masalah bagi kita dan para pemain angklung lainnya,” ujar Obby.
Langkah nyata
Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Ukus Kuswara mengatakan, even tersebut digelar sebagai langkah nyata dari Inpres No. 17/2011 tentang Pencegahan Korupsi, dengan harapan bisa memberikan semangat pembentukan karakter dan jati diri bangsa yang mampu menjaga harga dirinya dan menjaga kebersamaan dalam kebaikan sehingga akan membawa masyarakat pada kesejahteraan.
“Kami berharap melalui Angklung Vaganza ini bisa membangun sikap mental yang antikorupsi. Karena angklung juga membawa semangat kejujuran. Selain itu, even ini pun akan mendorong pengembangan ekonomi kreatif,” kata Ukus kepada wartawan seusai memberikan sambutan.
Dari sekian banyak grup, sanggar, maupun sekolah yang hadir dalam Angklung Vaganza Antikorupsi tersebut, para siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 24 Bandung terlihat yang paling serius. Pasalnya, mereka mendapat kehormatan untuk membawakan lagu “Jujur Bisa Jujur Karena Angklung” oleh gurunya, Hardianto. Lagu tersebut hasil karya cipta lagu angklung antikorupsi untuk melawan koruptor dan menjadi juara.
“Jelas kami merasa bangga mendapat kepercayaan membawakan lagu antikorupsi dan menjadi juara satu,” ujar Erda Octadayani siswi kelas 12 IPA 2, satu dari 35 siswa SMAN 24 Bandung saat ditemui di Plaza Balai Kota Bandung, kemarin.
Lagu yang berisi tentang imbauan jangan korupsi kepada masyarakat, menurut Erda sangat sulit, karena waktu yang diberikan untuk latihan sangat sempit, yakni sekitar dua minggu. Selain itu, nadanya cukup banyak, dan satu sama lain saling mengisi, sehingga menyulitkan mereka untuk berlatih. “Namun dengan ketekunan dan kesabaran, kami bisa memainkan lagu tersebut,” katanya.
Berbagai lini
Ketua Umum Masyarakat Musik Angklung, Obby A.R. Wiramihardja selaku penyelanggara kegiatan menyebutkan, kegiatan tersebut merupakan program Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Menurut Obby, upaya untuk mengampanyekan antikorupsi harus dilakukan di berbagai bidang. Karena, wabah korupsi diakuinya sudah menjalar ke berbagai lini kehidupan.
“Kampanye antikorupsi melalui musik angklung bagi saya sah-sah saja. Karena memainkan musik angklung banyak mengandung nilai filosofinya. Antara lain mengajarkan kedisiplinan, kekompakan dalam kebaikan, dan mengajarkan kejujuran,” ujar Obby saat ditemui wartawan seusai menjadi pembicara pada talkshow tentang angklung pada even tersebut.
Dia menyebutkan, sebaiknya para seniman angklung belajar musik pada angklung. Karena dari angklung ini banyak nilai dan makna yang bisa digali dan dipelajari. Satu alat musik angklung hanya memiliki satu nada, tidak lebih. Apabila satu musik angklung dimainkan lebih dari satu kali atau kurang, maka si pemainnya telah berlaku “korupsi”.
“Inilah yang ingin disampaikan kepada masyarakat tentang korupsi melalui alat musik angklung,” ujarnya.
Mengurangi kualitas
Selain itu, Obby pun menyoroti perajin angklung saat ini, setelah angklung diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Banyak perajin yang mengurangi kualitas dari musik angklung yang dihasilkan, kemudian disebar atau dijual ke berbagai sanggar maupun sekolah.
“Saya menyebutnya, itu mah suluh (kayu bakar, red), bukan angklung. Semua itu merupakan bagian dari korupsi,” tandasnya.
Karena itu, Obby mengimbau kepada para perajin alat musik angklung untuk meningkatkan kualitas angklung yang dibuatnya. “Jangan sampai alat musik angklung yang dibuat menjadi bumerang dan masalah bagi kita dan para pemain angklung lainnya,” ujar Obby.
Langkah nyata
Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Ukus Kuswara mengatakan, even tersebut digelar sebagai langkah nyata dari Inpres No. 17/2011 tentang Pencegahan Korupsi, dengan harapan bisa memberikan semangat pembentukan karakter dan jati diri bangsa yang mampu menjaga harga dirinya dan menjaga kebersamaan dalam kebaikan sehingga akan membawa masyarakat pada kesejahteraan.
“Kami berharap melalui Angklung Vaganza ini bisa membangun sikap mental yang antikorupsi. Karena angklung juga membawa semangat kejujuran. Selain itu, even ini pun akan mendorong pengembangan ekonomi kreatif,” kata Ukus kepada wartawan seusai memberikan sambutan.
(kiki kurnia/”GM”)**
http://www.klik-galamedia.com/wabah-korupsi-menjalar-ke-berbagai-linTuesday, 21 January 2014
Pengakuan Angklung Dicabut?
Sejak 16
November 2010 angklung di Indonesia telah dikukuhkan ke dalam daftar kekayaan warisan dunia (representative
list of the intangible cultural heritage of humanity) oleh intergovermental commite for safeguarding
oh teh intangible cultural heritage lembaga yang berada dibawah naungan United Nartions Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO).
Angklung
merupakan pengakuan ke 4 terhadap
kekayaan intelektulal bangsa Indonesia Indonesia
setelah pada tahun sebelumnya wayang, Batik dan keris. Hal ini tentunya menjadi
prestasi tersendiri. Karena untuk memperoleh pengakuan tersebut suatu benda
atau pun potensi budaya lainnya harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh UNESCO.
Berikut
merupakan daftar kekayaan budaya Indonesia sampai tahun 2013 yang telah
memperoleh pengakuan dari UNESCO (http://www.rodajaman.net/2013/02/warisan-budaya-indonesia-yang-mendapat.html) :
Warisan
Budaya Dunia (World Cultural Heritage):
- Kompleks Candi Borobudur (1991);
- Kompleks Candi Prambanan (1991);
- Situs Manusia Purba Sangiran (1996);
- Lanskap Budaya Bali
(Subak) (2012).
Warisan Alam
Dunia (World Natural Heritage):
- Taman Nasional Ujung Kulon di Banten (1991);
- Taman Nasional Komodo di NTT (1991);
- Taman Nasional Lorentz di Papua (1999);
- Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004).
Warisan
Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage):
Intangible Cultural Heritage
of Humanity
- Wayang (2003);
- Keris (2005);
- Batik (2009);
- Angklung (2010).
Intangible Cultural Heritage
in Need of Urgent Safeguarding
- Tari Saman (2011);
- Noken (2012).
Dari sekian
banyaknya kekayaan budaya Indonesia ternyata baru 14 jenis yang diakui oleh
UNESCO. 14 jenis dalam kurun waktu hampir 22 tahun merupakan fakta yang tidak
bisa kita hindari bahwa untuk memperoleh pengakuan tersebut merupakan
perjalanan yang panjang dan tentunya membutuhkan perjuangan, baik itu
perjuangan pemerintah maupun masyarakat sebagai pemiliki budaya tersebut.
Salah satu
asumsi yang dijadikan dasar ditetapkannya angklung diakui oleh UNESCO menjadi
warisan dunia adalah bahwa Indonesia mampu untuk : 1) mengupayakan pewarisan,
serta 2) mampu meningkatkanan manfaat keberadaan angklung tersebut bagi
masyarkat. Hal tersebut diungkapkan oleh Arief
Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO pada saat penyerahan piagam pengakuan angklung kepada
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Moch. Nuh pada tanggal 1 Januari 2011.
Pengakuan UNESCO
tersebut tidak bersifat permanen, dalam kurun waktu 4 tahun sejak angklung atau
pun yang lainnya ditetapkan untuk masuk ke dala daftar kekayaan warisan dunia (representative
list of the intangible cultural heritage of humanity) maka akan
dilakukan proses evaluasi untuk melihat sejauhmana negara yang bersangkutan
melakukan upaya-upaya pewarisan dan peningkatan fungsinya dimasyarakat.
”Dalam waktu
empat tahun setelah pengakuan, UNESCO akan melihat keseriusan kita melestarikan
kebudayaan warisan dunia benda dan tak benda yang ada di Tanah Air. Jika tak
bisa melestarikan dan mengembangkannya, pengakuan itu bisa dicabut,” kata
mantan Duta Besar Indonesia untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi yang hadir
dalam acara pertemuan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan mitra
kerjanya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara di Jakarta, Rabu (19/1). (http://nasional.kompas.com/read/2011/01/20/03573779)
Dengan demikian
maka upaya pewarisan dan peningkatan fungsi seperti yang disebutkan di atas
harus terus dilakukan.
Saturday, 4 January 2014
Angklung, "Ngangkleung" di Arus Kurikulum
senin, 18 november 2013 00:12 WIB
Angklung, "Ngangkleung" di Arus Kurikulum
Oleh : Hardianto
SECARA
etimologi kata angklung diambil dari "angkleung", (bahasa Sunda).
Selanjutnya mengalami perubahan gramatikal menjadi
"angkleung-kangkleungan" keadaan suatu benda yang terbawa arus air. Di Bali,
kata angklung merupakan frase yang disingkat dari "angka" (nada) dan
"lung" (hilang), yang diartikan bahwa ketika dimainkan maka ada nada
yang hilang. Teknik dasar bermain angklung adalah digetarkan, jarak dari
satu getaran ke getaran lainnya meninggalkan waktu antara dalam
hitungan satuan detik.
Melihat sudut etimologi angklung yang memiliki dua akar bahasa tersebut, maka membuka peluang penelitian mengenai asal-usul angklung dengan lebih luas. Apakah itu memang seperti yang sudah diterima secara umum, yaitu berasal dari Pulau Jawa bagian barat, atau ada kemungkinan bahwa angklung berasal dari daerah lain. Apalagi jika dilihat, rumpun alat kesenian yang berasal dari rumpun bambu disinyalir sudah berkembang pada masa sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Indonesia.
Angklung sebagai warisan nenek moyang kita merupakan salah satu alat musik yang sifatnya kini tidak lagi bersifat lokal kedaerahan. Semenjak upaya Daeng Soetigna yang kemudian dilanjutkan Udjo Ngalagena dan murid-murid lainnya seperti Obby A.R., Eddy Permadi, dll., angklung berkembang menjadi alat musik yang kini dimainkan bukan hanya di Indonesia. Apalagi sejak 16 November 2010, angklung telah diakui dan masuk ke dalam daftar warisan dunia yang ditetapkan UNESCO, sebagai lembaga dunia yang berperan dalam menangani masalah-masalah seperti ini, menyusul keris, wayang, dan batik yang sudah terlebih dulu diakui. Pengakuan ini merupakan bentuk pengakuan masyarakat dunia terhadap eksistensi angklung sebagai karya agung manusia Indonesia di masa lalu.
Pengakuan angklung yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan masyarakat sudah diakui negara dengan turunnya SK Mendikbud No. 082/1968. Hal ini memberi bukti, angklung layak dijadikan sebagai alat pendidikan. Fungsi alat pendidikan musik dan pendidikan karakter jelas tertera dalam surat keputusan tersebut. Sehingga instruksi diberikan bukan hanya kepada departemen terkait, departemen lain pun dianjurkan untuk menggunakan angklung dalam melakukan pendidikan musik, bahkan lebih jauh lagi pendidikan karakter.
Tahun 2013 ini adalah tahun ketiga setelah angklung diakui UNESCO atau 45 tahun diturunkannya SK menteri tentang penggunaan alat musik ini. Namun keberadaan angklung di sekolah-sekolah belum berubah, tetap "ngangkleung" di tengah kuatnya arus modernisasi sebagai acuan konstruksi kurikulum yang digunakan. Angklung hidup di tengah-tengah konsep "ekstrakurikuler" yang diikuti siswa yang "mau" memainkannya. Sementara hanya beberapa sekolah yang menempatkan angklung sebagai hal yang lebih pantas ditempatkan di dalam kurikulum sendiri.
SD Labschool, SMP Waringin, dan SMA Pasundan, merupakan sekolah di Kota Bandung yang penulis ketahui memasukkan angklung dalam proses pembelajarannya. Walaupun hanya diberi porsi 1 jam pertemuan untuk setiap minggunya, namun hal itu merupakan upaya yang layak diapresiasi sebagai sesuatu yang luar biasa di tengah derasnya tekanan pencapaian tujuan kurikulum yang ditetapkan.
Bila mengajarkan angklung, kita sudah melakukan tiga hal pokok yang tidak bisa dianggap kurang penting di antara kedudukan mata pelajaran yang lain, khususnya dalam pembentukan national character building. Ketiga hal tersebut meliputi 1) angklung adalah media pendidikan musik; 2) angklung merupakan media pendidikan karakter yang sangat praktis; 3) angklung merupakan alat pewarisan budaya bangsa, baik langsung dari sisi kebendaan maupun tidak langsung dari sudut pewarisan nilai-nilai intrinsik yang ada di dalamnya.
Tahun 2014 nanti merupakan tahun evaluasi bagi angklung. Jika pemerintah dan masyarakat belum bisa membuktikan upaya pewarisan serta peningkatan fungsi kegunaannya, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Hal itu semaksimal mungkin harus dihindari. Bukan hanya masalah eksistensi alatnya, tapi yang lebih penting adalah harga diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Melihat sudut etimologi angklung yang memiliki dua akar bahasa tersebut, maka membuka peluang penelitian mengenai asal-usul angklung dengan lebih luas. Apakah itu memang seperti yang sudah diterima secara umum, yaitu berasal dari Pulau Jawa bagian barat, atau ada kemungkinan bahwa angklung berasal dari daerah lain. Apalagi jika dilihat, rumpun alat kesenian yang berasal dari rumpun bambu disinyalir sudah berkembang pada masa sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Indonesia.
Angklung sebagai warisan nenek moyang kita merupakan salah satu alat musik yang sifatnya kini tidak lagi bersifat lokal kedaerahan. Semenjak upaya Daeng Soetigna yang kemudian dilanjutkan Udjo Ngalagena dan murid-murid lainnya seperti Obby A.R., Eddy Permadi, dll., angklung berkembang menjadi alat musik yang kini dimainkan bukan hanya di Indonesia. Apalagi sejak 16 November 2010, angklung telah diakui dan masuk ke dalam daftar warisan dunia yang ditetapkan UNESCO, sebagai lembaga dunia yang berperan dalam menangani masalah-masalah seperti ini, menyusul keris, wayang, dan batik yang sudah terlebih dulu diakui. Pengakuan ini merupakan bentuk pengakuan masyarakat dunia terhadap eksistensi angklung sebagai karya agung manusia Indonesia di masa lalu.
Pengakuan angklung yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan masyarakat sudah diakui negara dengan turunnya SK Mendikbud No. 082/1968. Hal ini memberi bukti, angklung layak dijadikan sebagai alat pendidikan. Fungsi alat pendidikan musik dan pendidikan karakter jelas tertera dalam surat keputusan tersebut. Sehingga instruksi diberikan bukan hanya kepada departemen terkait, departemen lain pun dianjurkan untuk menggunakan angklung dalam melakukan pendidikan musik, bahkan lebih jauh lagi pendidikan karakter.
Tahun 2013 ini adalah tahun ketiga setelah angklung diakui UNESCO atau 45 tahun diturunkannya SK menteri tentang penggunaan alat musik ini. Namun keberadaan angklung di sekolah-sekolah belum berubah, tetap "ngangkleung" di tengah kuatnya arus modernisasi sebagai acuan konstruksi kurikulum yang digunakan. Angklung hidup di tengah-tengah konsep "ekstrakurikuler" yang diikuti siswa yang "mau" memainkannya. Sementara hanya beberapa sekolah yang menempatkan angklung sebagai hal yang lebih pantas ditempatkan di dalam kurikulum sendiri.
SD Labschool, SMP Waringin, dan SMA Pasundan, merupakan sekolah di Kota Bandung yang penulis ketahui memasukkan angklung dalam proses pembelajarannya. Walaupun hanya diberi porsi 1 jam pertemuan untuk setiap minggunya, namun hal itu merupakan upaya yang layak diapresiasi sebagai sesuatu yang luar biasa di tengah derasnya tekanan pencapaian tujuan kurikulum yang ditetapkan.
Bila mengajarkan angklung, kita sudah melakukan tiga hal pokok yang tidak bisa dianggap kurang penting di antara kedudukan mata pelajaran yang lain, khususnya dalam pembentukan national character building. Ketiga hal tersebut meliputi 1) angklung adalah media pendidikan musik; 2) angklung merupakan media pendidikan karakter yang sangat praktis; 3) angklung merupakan alat pewarisan budaya bangsa, baik langsung dari sisi kebendaan maupun tidak langsung dari sudut pewarisan nilai-nilai intrinsik yang ada di dalamnya.
Tahun 2014 nanti merupakan tahun evaluasi bagi angklung. Jika pemerintah dan masyarakat belum bisa membuktikan upaya pewarisan serta peningkatan fungsi kegunaannya, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Hal itu semaksimal mungkin harus dihindari. Bukan hanya masalah eksistensi alatnya, tapi yang lebih penting adalah harga diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.
(Penulis, pengajar di SMP Waringin Bandung)**
http://www.klik-galamedia.com/angklung-ngangkleung-di-arus-kurikulum
Subscribe to:
Posts (Atom)