Pengantar
Seperti pada
umumnya Negara-negara di benua Asia, Indonesia
merupakan Negara yang memilik budaya dimana bambu merupakan tumbuhan yang memiliki keterkaitan begitu erat dalam
kehidupan penduduknya. Tumbuhan bambu
yang banyak tumbuh subur di setiap wilayah Indonesia mengakibatkan penggunaan
tumbuhan ini begitu mewarnai masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Dari
mulai lahir, membuat rumah beserta perkakasnya, makanan, berkesenian, sampai pada prosesi pemakaman, semuanya melibatkan bambu
dalam pelaksanaannya.
Angklung
merupakan salah satu alat musik yang terbuat dari bambu. Alat musik ini tumbuh
dan berkembang di Indonesia khususnya daerah pulau Jawa bagian barat. Alat
musik ini termasuk ke dalam katagori idiophone, dan merupakan alat musik yang
tergolong sangat mudah untuk dimainkan. Siapapun bisa memainkannya, karena tidak memerlukan
keterampilan khusus seperti syarat yang diharuskan untuk menguasai alat musik
lainnya. Kita hanya perlu memegang, kemudian menggoyangkannya, maka alat musik
inipun akan berbunyi sesuai dengan yang kita kehendaki.
Angklung
berasal dari daerah pulau Jawa bagian barat. Keberadaannya menyebar dari
wilayah utara (Cirebon) sampai ke wilayah selatan ( Sukabumi) daerah tersebut.
Namun pada perkembangan kemudian angklung tumbuh dan berkembang menyebar ke
wilayah-wilayah pulau jawa lainnya,
baik itu dalam bentuk yang asli maupun dalam bentuk pengembangannya.
Sehingga walaupun secara umum alat musik ini terdapat di Jawa Barat, namun
keberadaan alat musik ini menyebar
ke daerah lainnya
Angklung
termasuk ke dalam golongan lonceng. Seperti juga lonceng, angklung biasa
digunakan dalam kegiatan yang bersifat ritual karena memiliki bunyi yang
khidmat. Di beberapa tempat seperti di
Bali angklung biasa digunakan dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun
dewasa ini hal itu terbatas pada kelompok penduduk yang tidak memiliki angklung
metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem. Orang Baduy di
Kanekes , Banten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara
pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun. Angklung
Gubrag di kampung Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi
mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.Seperti halnya di Kanekes, di
sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa,
permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di
desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi
Orkes Angklung.
Di daerah Madura angklung merupakan alat kesenian yang
profan. Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi,
keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan
arak-arakan. Di Kalimantan Barat terdapat angklung, (tersimpan dalam Museum
Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan
1767/1-3). Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan
pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak
terdapat lagi angklung tradisional. Di Kalimanatan Selatan sekarang masih
terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung,
biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk
dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah. Kata
Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman,
walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu. Di
Lampung pada masa lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya
dipamerkan di Museum Leidan, Negeri Belanda (katalogus No. 40/58). Namun
sekarang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di
wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran
dari Jawa.
Dalam
jurnal “Rekacita” Volume 2 No 1 tahun 2006, Hari Nugraha, Yasraf Amir Pilang
dan Duddy W mencatat bahwa angklung tidak terlepas dari keberadaan seni
karawitan di dalam masyarakat Sunda. Hipotesis awal dapat dipastikan bahwa
angklung telah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri, sekitar tahun 952 Saka atau
1030 Masehi, berdasarkan pada prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kabupaten
Sukabumi. Saat ini angklung hanya digunakan untuk ritus, terutama upacara
jelang musim tanam padi. Bahkan angklung yang dipakai untuk upacara adatpun
bukanlah angklung yang bertangganada da-mi-na-ti-la-da, melainkan hanya
beberapa nada yang dibunyikan secara
monoton. Jadi kesan magis dan mistisnya terasa”, Demikian kata musikolog dari Barat, Jaap Kunst.
Menurut
perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia
Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman.
“De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid
XIX, hal. 4). Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada
candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang
sudah berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat
musik bambu berdawai. Kekawin
Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut
Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di
Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah,
disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun
1181. Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia
Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang,
terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama
setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah
disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin
Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala
dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha
disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat
Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang
mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha
Kediri.
FUNGSI SOSIAL
Sampai saat ini belum diketahui nilai-nilai
yang berkembang di sekitar latar belakang keberadaan alat musik angklung ini. Nilai-nilai
hidup yang berkembamg dan kemudian berwujud menjadi alat musik angklung masih
tetap menjadi wacana tutur dari ranah kebudayaan Indonesia.
Selain prasasti yang telah disebutkan
di atas belum diketemukan lagi bukti-bukti tertulis ataupun fakta ilmiah
lainnya yang bisa memberikan keterangan mengenai awal mula
penggunaannya. Namun tentunya fakta-fakta sekunder di seputar alat musik ini
bisa dijadikan sebagai bahan untuk mengungkapkan nilai-nilai masyarakat yang tumbuh dan berkembang,
seperti fungsi dan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan alat musik angklung
dalam kehidupannya.
Di zaman nilai-nilai Hindu dan kepercayaan Sunda
Wiwitan (kepercayaan masyarakat sunda) dahulu dominan dalam kehidupan
masyarakat, Angklung dipergunakan untuk
memikat Nyi Sri Pohaci yang dipercayai sebagai Dewi Sri sebagai Dewi Pemberi
Kehidupan (hirup jeng hurip) kepada masyarakat. Angklung Buncis, Angklug
Kanekes, Angklung Gubrag, dan Angklung Dog dog Lojor, merupakan contoh-contoh
dimana angklung dipergunakan baik itu pada upacara menanam, merawa atau pun
memanen padi. Selain untuk fungsi yang berkaitan dengan ritual dengan bercocok
tanam, pada zaman ini juga angklung digunakan untuk pemeliharaan lingkungan
(angklung di daerah kabupaten Bandung, dan Bandung Barat) serta alat untun
membangkitkan semangat dalam peperangan (peristiwa perang Bubat).
Angklung Badeng, Angklung Bungko
merupakan contoh lain dari penggunaan kesenian angklung dalam masyarakat.
Angklung yang membawakan misi dakwah ini merupakan contoh dari kuatnya
nilai-nilai hidup yang berkembang dalam memberikan warna pada alat musik
angklung. Bergesernya nilai-nilai hidup di masyarakat (hindu dan Sunda Wiwitan) kepada nilai-nilai
Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat pada waktu itu
mengakibatkan perubahan fungsi alat musik angklung.
Zaman kolonialisme
merupakan zaman keterpurukan angklung. Pemerintah Belanda yang berkuasa pada waktu itu melakukan pelarangan terhadap
alat musik angklung. Angklung hanya boleh dimainkan oleh Pengemis dan
Anak-anak. Hal itu dinyatakan oleh
beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam
zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di
Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire
muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang
dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938,
tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng
muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige
en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan
menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).
Penulis lain yang
anonim adalah majalah WOLANDA HINDIA tahun ke-12 No.6, 1939, setelah
menyaksikan beberapa pertunjukan angklung Priangan, antara lain menulis: Dat
deze muziek indruk op de beveling maakt, is bewezen. Zij beluisteren in de
klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij anderen zinnelijke aandoeningen
worden opwekt” (Bahwa musik ini maksudnya musik angklung, pen) dapat
menimbulkan kesan mendalam bagi penduduk, cukup terbukti. Mereka mendengar
musik parang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan emosional”).
Tahun 1940 mulai terjadi perubahan
fungsi dan kedudukan angklung di dalam
kehidupan masyarakat. Angklung yang pada mulanya dimainkan pada acara-acara
ritual, sedikit demi sedikit mulai dikemas menjadi seni pertunjukan. Angklung
mulai dimainkan di panggung-panggung. Hal ini juga tidak terlepas dari kreasi Daeng Soetigna yang melakukan perubahan yang
revolusioner terhadap alat musik ini.
Tahun 1938 merupakan tonggak sejarah
alat musik angkung, angklung yang pada awalnya hanya bertangga pentatonic
sunda (da mi na ti la) dikembangkan ke
sekolah oleh Daeng Soetigna menjadi
angklung yang bertangganda diatonic kromatis (do re mi sol la ti ). Sejak tahun
1938 inilah dikenal dua jenis angklung dari sisi tangga nada, angklung buhun
yang bertangganada pentatonic sunda dan angklung padaeng yang bertangganada
diatonic kromatis. Secara fisik, wujud angklung Daeng Soetigna adalah
tradisional, namun secara bunyi bisa disebut modern. Angklung yang dikreasi Daeng
Soetigna tidak mungkin di dapatkan dalam upacara-upacara adat seperti pada awal
mula penggunaan angklung. Dapat dikatakan bahwa angklung kembali mengalami
perubahan fungsi dalam masyarakat. Tahun ini merupakan tahun permulaan
dijadikannya angklung sebagai alat pendidikan disamping sebagai alat hiburan.
Daeng Soetigna sebagai seorang guru
dan Pembina kepanduan setelah dia
belajar membuat angklung dari seorang tua yang bernama Pak Djaya mengamati
angkung dan berkesimpulan bahwa angklung memiliki sifat-sifat yang khas serta
dapat dijadikan sebagai alat pendidikan. Hal tersebut kemudian dikenal dengan
prinsip 5 M (Mudah, murah, mendidik, menarik, masal) dalam alat musik angklung.
Berikut merupakan uraian dari prinsip 5 M tersebut.
1. Mudah; dibandingkan dengan instrument-instrumen
lain, angklung termasuk yang termudah. Angklung tidak memerlukan manipulasi
jari-jari yang rumit sehingga tidak memerlukan latihan-latihan yang bersifat
teknis.
2. Murah; tidak perlu dibeli dengan harga mahal karena
setiap orang dapat membuatnya dari bahan bamboo yang mudah didapatkan.
3. Mendidik; Intrumen-instrumen musik
mendidik orang-orang yang memainkannya. Dalam hal ini angklung termasuk unik.
Karena angklung hanya dapat menghasilkan satu not, maka bermain angklung
memerlukan suatu kerjasama yang kuat dan ini mengajarkan kepada anak-anak
tradisi “gotong royong” kita dan memperkuat rasa tanggung jawab terhadap
kelompok. Dalam orchestra angklung tidak ada tempat bagi individu-individu
tertentu untuk lebih menonjol daripada yang lain.
4. Menarik; setiap orang tertarik,
terutama anak-anak.
5. Masal; artinya dapat dilakukan
secara massal. Jumlah peserta tidak dibatasi. Setiap orang dapat berperan serta
tanpa memperhatikan benar bakat musik seorang peserta.
Prinsip 5 M ini kemudian dikembangkan oleh salah seorang
muridnya yaitu Obby A.R. Wiramihardha dalam kaitannya antara angklung dengan
pembelajarannya di sekolah, menjadi :
1. Pertama, ditinjau dari segi harga,
angklung terbilang “murah” sehingga
tidak akan terlalu menjadi beban, bila sekolah berminat memilikinya. Lain
halnya dengan alat musik diatonis lain seperti gitar, biola apalagi piano yang
pada waktu itu (tahun 30-an) merupakan produk impian yang sudah pasti harganya
pun diatas harga alat musik angklung. Dengan demikian hanya sekolah-sekolah
tertentu saja yang dapat memilikinya.
2. Kedua, alat musik angklung dapat
dimainkan dengan “mudah” oleh setiap
anak / pemain, dalam artian tidak memerlukan manipulasi tangan dan jari yang
sulit (fingering), berbeda dengan alat musik lainnya, cukup dengan memegang dan
menggoyangkannya maka angklung akan berbunyi.
a.
Dengan demikian angklung dapat dimainkan oleh
anak mulai dari usia 5 tahun dan orang yang usianya 80 tahun.
b.
Cara membunyikan angklung yang mudah itu
diharapkan akan membuat anak-anak terhindar dari sikap cepat putus asa atau bagi mereka yang merasa tidak
mempunyai bakat terhadap musik sekalipun akan mampu memainkannya.
3.
Ketiga,
didalam permainan musik angklung inipun terkandung unsur “mendidik” antara lain :
disiplin, tanggung jawab, kerja sama / gotong royong, tahu tugas dan
kewajiban, solidaritas, demokrasi, konsentrasi dan etos kerja.
4.
Keempat,
musik ini dapat dimainkan secara “massal”
sehingga anak-anak di dalam kelas dapat ikut berperan serta, tidak ada
pembatasan jumlah pemain sepanjang alatnya tersedia yang penting adalah
pengaturan dan pengorganisasiannya.
5.
Kelima,
adalah “menarik” karena ternyata
musik angklung ini telah berhasil menarik minat dan rasa kagum tidak hanya
anak-anak, tetapi juga orang dewasa, karena dari alat musik yang sederhana
dapat memainkan lagu-lagu.
Daeng Soetigna yang lahir di garut 13 Mei 1908 dan meninggal tahun 8
April 1984, telah berhasil mengangkat dan memperkenalkan angklung bukan
hanya di tanah air namun juga di mancanegara. Serta atas jasa-jasanya Beliau telah dianugerahi Bintang Budaya Parama
Dharma dari Pemerintah RI pada tanggal 9 November 2007 serta anugerah Satya Lancana Kebudayaan pada tahun
1968, dan dikenal sebagai Bapak Angklung Indonesia.
Secara resmi kenegaraan Angklung Padaeng pertamakali dipertunjukan pada peristiwa
perjanjian Linggarjati tahun 1946. Setelah itu setiap acara kenegaraan angklung
padaeng tidak pernah absen untuk menjadi hiburan khas kenegaraan. Peristiwa
besar seperti Konfrensi Asia-Afrika, Pembukaan PON dll merupakan acara-acara yang dipentaskan
angklung di dalamnya. Selain di dalam
negeri, perkembangan angklung di luar negeripun mulai berkembang, apalagi di
Thailand yang sejak tahun 1908 telah mengenal angklung. Angklung padaeng
menjadi alat yang efektif untuk
melaksanakan diplomasi kebudayaan karena
memiliki sifat mudah sehingga dapat dimainkan oleh siapa saja.
Menyadari dan memahami pentingnya angklung terhadap perkembangan
kesenian dan pendidikan di Indonesia Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan SK no. 082/1968 yang berisi :
Pertama : Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Kedua : Menugaskan
kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar supaya angklung
dapat ditetapkan sebagai ala pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sampai sekarang angklung padaeng sudah tersebar hampir di
seluruh dunia, dan terakhir yang monumental adalah dimasukannya angklung oleh UNESCO ke dalam daftar harta tak benda
buatan manusia yang berasal dari Indonesia.
No comments:
Post a Comment