DONASI PENGEMBANGAN

DONASI PENGEMBANGAN
A/N. HARDIANTO
REKENING BCA : 2839671258

Tuesday 14 August 2012

ANGKLUNG DAN RITUAL SEKOLAH


Sejak SK Mentri Pendidikan dan Kebudayaan no 082   tahun 1968 tentang Penetapan Angklung Sebagai Media Pendidikan di Sekolah angklung sebagai objek dari SK tersebut belum memenuhi  apa yang telah di tetapkan SK tersebut. Hanya segelintir sekolah yang memandang serius angklung sebagai alat pendidikan yang  dimaksud SK tersebut. SD BPI Kota Bandung, SD Lab School di Cibiru Kota Bandung, serta SMP Waringin Kota Bandung  merupakan contoh sekolah-sekolah yang memasukan angklung bukan hanya sekedar kegiatan ekstra kurikuler melainkan dimasukannya  ke dalam kurikulum untuk mengisi mata pelajar muatan local sehingga setiap anak didik memperoleh pembelajaran angklung selama satu jam setiap minggunya. Sementara hampir mayoritas sekolah baik itu tingkat dasar maupun menengah menjadikan angklung sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang  hanya diikuti oleh siswa didik yang memiliki ketertarikan kepada alat pendidikan ini. Dan dari sekian sekolah yang ada pelaksanaan pendidikan dengan menggunakan angklung banyak juga yang hanya menjadikannya sebagai alat ceremony untuk mengisi kegiatan akhir tahun (perpisahan) dan penyambutan tamu tertentu. (berdasarkan kegiatan tidak berkesinambungan)
Sementara untuk tingkat perguruan tinggi, angklung diperlakukan sebagai bagian dari kegiatan yang bersifat unit-unit kegiatan (UKM) seperti KABUMI UPI Bandung, GENTRA SEBA STBA YAPARI Bandung, KPA ITB, dll. Sementara jurusan-jurusan pada Fakultas Seni Budaya, Angklung hanya diajarkan sebagai bagian yang marginal (hanya 2 SKS ) disamping alat musik lain yang SKS nya tentunya lebih banyak. Namun hal yang menggembirakan di tahun 2012 ini adalah adanya  dibukanya “Jurusan Musik Bambu “ di STSI Bandung. Walaupun belum jelas bagaimana struktur kurikulumnya namun tentunya ini merupakan hal yang cukup menggembirakan. (mudah-mudahan di usung bukan karena desakan UNESCO atas upaya pewarisan yang diharuskan).
Disamping  di Sekolah atau Lembaga Pendidikan, beberapa organisasi kemasyarakatan menyelenggarakan kegiatan angklung, baik itu yang memang berorientasi bisnis maupun orientasi social, bahkan sekarang memang sedang dikembangkan penggunaan musik angklung sebagai media penyembuhan penyakit tertentu, serta dipergunakannya angklung sebagai media untuk pelatihan manajemen.
Dalam beberapa diskusi serta saresehan-saresehan yang membahas tentang perkembangan angklung seringkali dibahas mengenai permasalahan-permasalahan yang  menyangkut perkembangan angklung di sekolah. Salah satu yang menjadi sorotan perkembangan angklung di sekolah adalah “KURANGNYA PELATIH ANGKLUNG”.  Hal ini sering dianggap sebagai penyebab kurang berkembangnya angklung di Sekolah (walaupun nota bene setiap sekolah memiliki Guru BIdang Studi SENI).
Di atas kertas seharusnya sekolah kita tidak kekurangan pelatih angklung karena alasan adanya Guru Bidang Studi tadi, karena angklung khususnya di sini angklung Padaeng memiliki prinsip mudah  untuk dimainkan, setiap orang yang hari ini memegang maka saat itu pun dapat memainkannya. Sehingga sangat ironis ketika kita berbicara kekurangan pelatih angklung di tengah-tengah keberadaan jurusan seni di perguruan tinggi yang walaupun dalam “perhatian yang kecil” tetap menjadikan angklung sebagai alat musik yang harus di”ketahui” oleh mahasiswanya.
ANTARA PENGADAAN ANGKLUNG DAN KETERSEDIAAN PELATIH/GURU ANGKLUNG
Baru-baru ini beredar kabar tentang adanya pengadaan angklung buat sekolah khususnya di Jawa Barat, kabar yang menggembirakan namun sekaligus agak mencengangkan, mengagetkan karena beberapa sekolah yang memiliki angklung tidak mempunyai pelatih yang akhirnya angklung tidak difungsikan sebagai alat pendidikan tadi melainkan sebagai alat pajangan sekolah serta tempat berkumpulnya “debu serta rayap yang gemar hidup pada bambu sebagai bahan dasar”. Bisa di perkirakan jika pengadaan angklung tersebut terlaksana tampa di sertai oleh keberadaan pelatih yang nantinya akan mempergunakan angklung sebagai alat pendidikannya.
Dari beberapa Festival yang diselenggarakan Festival angklung Bianglala, Festival Musik Angklung oleh ITB, Lomba Musik Angklung Padaeng oleh KABUMI UPI Bandung, dan festival lainnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa beberapa sekolah dilatih oleh pelatih yang sama. Gambaran ini jelas memberikan arah bahwa memang keberadaan pelatih angklung memang sangat mendesak disamping pengadaan angklung itu sendiri. Lalu ketika kita menohok kepada perlakuan sekolah kepada pelatih angklung, kita juga tentunya akan berpikir ulang penyebab kurangnya pelatih khususnya dan musik angklung di sekolah pada umumnya.
Sebagai gambaran umum perlakuan sekolah kita kepada pelatih angklung belum mampu untuk disejajarkan dengan anggapan perlunya angklung dihidupkan di sekolah. Secara diplomatis sekolah dan instansi yang terkait di dalamnya sangat menyadari dan membutuhkan keberadaan musik angklung di sekolah, namun di sisi lain ketika dihadapkan pada nilai nominal yang harus dikeluarkan untuk memberikan honor atau penghargaan menjadi sangat terbalik dengan hal yang secara diplomatis tadi disebutkan. Dengan tidak salah rasanya jika pelatih angklung yang ada memilih mengajar di beberapa sekolah, dan bibit pelatih angklung yang ada tidak tumbuh subur karena dihadapkan pada realitas yang tidak mampu memberikan jaminan dirinya untuk berkarya.

No comments:

Post a Comment

LAGU CINTA UNTUK KEKASIH