DONASI PENGEMBANGAN

DONASI PENGEMBANGAN
A/N. HARDIANTO
REKENING BCA : 2839671258

Tuesday 11 October 2011

Dari Angklung "Kamari" Menuju Angklung "Bihari"


Pengantar
Seperti pada umumnya Negara-negara di benua  Asia, Indonesia merupakan Negara yang memilik budaya dimana bambu merupakan tumbuhan  yang memiliki keterkaitan begitu erat dalam kehidupan penduduknya.  Tumbuhan bambu yang banyak tumbuh subur di setiap wilayah Indonesia mengakibatkan penggunaan tumbuhan ini begitu mewarnai masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Dari mulai lahir, membuat rumah beserta perkakasnya, makanan, berkesenian,  sampai pada  prosesi pemakaman, semuanya melibatkan bambu dalam pelaksanaannya.
Angklung merupakan salah satu alat musik yang terbuat dari bambu. Alat musik ini tumbuh dan berkembang di Indonesia khususnya daerah pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini termasuk ke dalam katagori idiophone, dan merupakan alat musik yang tergolong sangat mudah untuk dimainkan. Siapapun bisa  memainkannya, karena tidak memerlukan keterampilan khusus seperti syarat yang diharuskan untuk menguasai alat musik lainnya. Kita hanya perlu memegang, kemudian menggoyangkannya, maka alat musik inipun akan berbunyi sesuai dengan yang kita kehendaki.  
Angklung berasal dari daerah pulau Jawa bagian barat. Keberadaannya menyebar dari wilayah utara (Cirebon) sampai ke wilayah selatan ( Sukabumi) daerah tersebut. Namun pada perkembangan kemudian angklung tumbuh dan berkembang menyebar ke wilayah-wilayah pulau jawa lainnya,   baik itu dalam bentuk yang asli maupun dalam bentuk pengembangannya. Sehingga walaupun secara umum alat musik ini terdapat di Jawa Barat, namun keberadaan  alat musik ini menyebar ke  daerah lainnya
Angklung termasuk ke dalam golongan lonceng. Seperti juga lonceng, angklung biasa digunakan dalam kegiatan yang bersifat ritual karena memiliki bunyi yang khidmat. Di  beberapa tempat seperti di Bali angklung biasa digunakan dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelompok penduduk yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem. Orang Baduy di Kanekes , Banten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun. Angklung Gubrag di kampung Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Di daerah  Madura angklung merupakan alat kesenian yang profan. Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan. Di Kalimantan Barat terdapat angklung, (tersimpan dalam Museum Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3). Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat lagi angklung tradisional. Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah. Kata Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu. Di Lampung pada masa lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkan di Museum Leidan, Negeri Belanda (katalogus No. 40/58). Namun sekarang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.
Dalam jurnal “Rekacita” Volume 2 No 1 tahun 2006, Hari Nugraha, Yasraf Amir Pilang dan Duddy W mencatat bahwa angklung tidak terlepas dari keberadaan seni karawitan di dalam masyarakat Sunda. Hipotesis awal dapat dipastikan bahwa angklung telah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri, sekitar tahun 952 Saka atau 1030 Masehi, berdasarkan pada prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Saat ini angklung hanya digunakan untuk ritus, terutama upacara jelang musim tanam padi. Bahkan angklung yang dipakai untuk upacara adatpun bukanlah angklung yang bertangganada da-mi-na-ti-la-da, melainkan hanya beberapa nada  yang dibunyikan secara monoton. Jadi kesan magis dan mistisnya terasa”, Demikian kata musikolog dari  Barat, Jaap Kunst.
Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal. 4). Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang sudah  berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.  Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181. Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha Kediri.
FUNGSI SOSIAL
Sampai saat ini belum diketahui nilai-nilai yang berkembang di sekitar latar belakang keberadaan alat musik angklung ini. Nilai-nilai hidup yang berkembamg dan kemudian berwujud menjadi alat musik angklung masih tetap menjadi wacana tutur dari ranah kebudayaan Indonesia.
Selain prasasti yang telah disebutkan di atas belum diketemukan lagi bukti-bukti tertulis ataupun fakta ilmiah lainnya  yang bisa  memberikan keterangan mengenai awal mula penggunaannya. Namun tentunya fakta-fakta sekunder di seputar alat musik ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk mengungkapkan nilai-nilai  masyarakat yang tumbuh dan berkembang, seperti fungsi dan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan alat musik angklung dalam kehidupannya.
Di zaman nilai-nilai Hindu dan kepercayaan Sunda Wiwitan (kepercayaan masyarakat sunda) dahulu dominan dalam kehidupan masyarakat,  Angklung dipergunakan untuk memikat Nyi Sri Pohaci yang dipercayai sebagai Dewi Sri sebagai Dewi Pemberi Kehidupan (hirup jeng hurip) kepada masyarakat. Angklung Buncis, Angklug Kanekes, Angklung Gubrag, dan Angklung Dog dog Lojor, merupakan contoh-contoh dimana angklung dipergunakan baik itu pada upacara menanam, merawa atau pun memanen padi. Selain untuk fungsi yang berkaitan dengan ritual dengan bercocok tanam, pada zaman ini juga angklung digunakan untuk pemeliharaan lingkungan (angklung di daerah kabupaten Bandung, dan Bandung Barat) serta alat untun membangkitkan semangat dalam peperangan (peristiwa perang Bubat).
Angklung Badeng, Angklung Bungko merupakan contoh lain dari penggunaan kesenian angklung dalam masyarakat. Angklung yang membawakan misi dakwah ini merupakan contoh dari kuatnya nilai-nilai hidup yang berkembang dalam memberikan warna pada alat musik angklung. Bergesernya nilai-nilai hidup di masyarakat  (hindu dan Sunda Wiwitan) kepada nilai-nilai Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat pada waktu itu mengakibatkan perubahan fungsi alat musik angklung.
Zaman kolonialisme merupakan zaman keterpurukan angklung. Pemerintah Belanda yang berkuasa  pada waktu itu melakukan pelarangan terhadap alat musik angklung. Angklung hanya boleh dimainkan oleh Pengemis dan Anak-anak.  Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).
Penulis lain yang anonim adalah majalah WOLANDA HINDIA tahun ke-12 No.6, 1939, setelah menyaksikan beberapa pertunjukan angklung Priangan, antara lain menulis: Dat deze muziek indruk op de beveling maakt, is bewezen. Zij beluisteren in de klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij anderen zinnelijke aandoeningen worden opwekt” (Bahwa musik ini maksudnya musik angklung, pen) dapat menimbulkan kesan mendalam bagi penduduk, cukup terbukti. Mereka mendengar musik parang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan emosional”).
Tahun 1940 mulai terjadi perubahan fungsi dan kedudukan  angklung di dalam kehidupan masyarakat. Angklung yang pada mulanya dimainkan pada acara-acara ritual, sedikit demi sedikit mulai dikemas menjadi seni pertunjukan. Angklung mulai dimainkan di panggung-panggung. Hal ini juga tidak terlepas dari kreasi  Daeng Soetigna yang melakukan perubahan yang revolusioner terhadap alat musik ini. 
Tahun 1938 merupakan tonggak sejarah alat musik angkung, angklung yang pada awalnya hanya bertangga pentatonic sunda  (da mi na ti la) dikembangkan ke sekolah  oleh Daeng Soetigna menjadi angklung yang bertangganda diatonic kromatis (do re mi sol la ti ). Sejak tahun 1938 inilah dikenal dua jenis angklung dari sisi tangga nada, angklung buhun yang bertangganada pentatonic sunda dan angklung padaeng yang bertangganada diatonic kromatis. Secara fisik, wujud angklung Daeng Soetigna adalah tradisional, namun secara bunyi bisa disebut modern. Angklung yang dikreasi Daeng Soetigna tidak mungkin di dapatkan dalam upacara-upacara adat seperti pada awal mula penggunaan angklung. Dapat dikatakan bahwa angklung kembali mengalami perubahan fungsi dalam masyarakat. Tahun ini merupakan tahun permulaan dijadikannya angklung sebagai alat pendidikan disamping sebagai alat hiburan.
Daeng Soetigna sebagai seorang guru dan Pembina kepanduan   setelah dia belajar membuat angklung dari seorang tua yang bernama Pak Djaya mengamati angkung dan berkesimpulan bahwa angklung memiliki sifat-sifat yang khas serta dapat dijadikan sebagai alat pendidikan. Hal tersebut kemudian dikenal dengan prinsip 5 M (Mudah, murah, mendidik, menarik, masal) dalam alat musik angklung. 
Berikut merupakan  uraian dari prinsip 5 M tersebut.
1.      Mudah;  dibandingkan dengan instrument-instrumen lain, angklung termasuk yang termudah. Angklung tidak memerlukan manipulasi jari-jari yang rumit sehingga tidak memerlukan latihan-latihan yang bersifat teknis.
2.      Murah;  tidak perlu dibeli dengan harga mahal karena setiap orang dapat membuatnya dari bahan bamboo yang mudah didapatkan.
3.      Mendidik; Intrumen-instrumen musik mendidik orang-orang yang memainkannya. Dalam hal ini angklung termasuk unik. Karena angklung hanya dapat menghasilkan satu not, maka bermain angklung memerlukan suatu kerjasama yang kuat dan ini mengajarkan kepada anak-anak tradisi “gotong royong” kita dan memperkuat rasa tanggung jawab terhadap kelompok. Dalam orchestra angklung tidak ada tempat bagi individu-individu tertentu untuk lebih menonjol daripada yang lain.
4.      Menarik; setiap orang tertarik, terutama anak-anak.
5.      Masal; artinya dapat dilakukan secara massal. Jumlah peserta tidak dibatasi. Setiap orang dapat berperan serta tanpa memperhatikan benar bakat musik seorang peserta.
Prinsip 5 M ini kemudian dikembangkan oleh salah seorang muridnya yaitu Obby A.R. Wiramihardha dalam kaitannya antara angklung dengan pembelajarannya di sekolah,  menjadi :
1.       Pertama, ditinjau dari segi harga, angklung terbilang “murah” sehingga tidak akan terlalu menjadi beban, bila sekolah berminat memilikinya. Lain halnya dengan alat musik diatonis lain seperti gitar, biola apalagi piano yang pada waktu itu (tahun 30-an) merupakan produk impian yang sudah pasti harganya pun diatas harga alat musik angklung. Dengan demikian hanya sekolah-sekolah tertentu saja yang dapat memilikinya.
2.       Kedua, alat musik angklung dapat dimainkan dengan “mudah” oleh setiap anak / pemain, dalam artian tidak memerlukan manipulasi tangan dan jari yang sulit (fingering), berbeda dengan alat musik lainnya, cukup dengan memegang dan menggoyangkannya maka angklung akan berbunyi.
a.       Dengan demikian angklung dapat dimainkan oleh anak mulai dari usia 5 tahun dan orang yang usianya 80 tahun.
b.      Cara membunyikan angklung yang mudah itu diharapkan akan membuat anak-anak terhindar dari sikap cepat putus asa atau bagi mereka yang merasa tidak mempunyai bakat terhadap musik sekalipun akan mampu memainkannya.
3.       Ketiga, didalam permainan musik angklung inipun terkandung unsur “mendidik” antara lain :  disiplin, tanggung jawab, kerja sama / gotong royong, tahu tugas dan kewajiban, solidaritas, demokrasi, konsentrasi dan etos kerja.
4.       Keempat, musik ini dapat dimainkan secara “massal” sehingga anak-anak di dalam kelas dapat ikut berperan serta, tidak ada pembatasan jumlah pemain sepanjang alatnya tersedia yang penting adalah pengaturan dan pengorganisasiannya.
5.       Kelima, adalah “menarik” karena ternyata musik angklung ini telah berhasil menarik minat dan rasa kagum tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa, karena dari alat musik yang sederhana dapat memainkan lagu-lagu.
Daeng Soetigna yang lahir di garut 13 Mei 1908 dan meninggal tahun 8 April 1984, telah berhasil mengangkat dan memperkenalkan angklung bukan hanya di tanah air namun juga di mancanegara. Serta atas jasa-jasanya Beliau   telah dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI pada tanggal 9 November 2007 serta  anugerah Satya Lancana Kebudayaan pada tahun 1968, dan dikenal sebagai Bapak Angklung Indonesia.
Secara resmi kenegaraan Angklung Padaeng  pertamakali dipertunjukan pada peristiwa perjanjian Linggarjati tahun 1946. Setelah itu setiap acara kenegaraan angklung padaeng tidak pernah absen untuk menjadi hiburan khas kenegaraan. Peristiwa besar seperti Konfrensi Asia-Afrika, Pembukaan PON  dll merupakan acara-acara yang dipentaskan angklung di dalamnya.  Selain di dalam negeri, perkembangan angklung di luar negeripun mulai berkembang, apalagi di Thailand yang sejak tahun 1908 telah mengenal angklung. Angklung padaeng menjadi alat  yang efektif untuk melaksanakan  diplomasi kebudayaan karena memiliki sifat mudah sehingga dapat dimainkan oleh siapa saja.
Menyadari dan memahami pentingnya angklung terhadap perkembangan kesenian dan pendidikan di Indonesia Mentri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan SK no. 082/1968 yang berisi :
Pertama : Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kedua : Menugaskan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar supaya angklung dapat ditetapkan sebagai ala pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sampai sekarang angklung padaeng sudah tersebar hampir di seluruh dunia, dan terakhir yang monumental adalah dimasukannya angklung  oleh UNESCO ke dalam daftar harta tak benda buatan manusia yang berasal dari Indonesia.




PROSES PEMBUATAN
1.     Bahan dan Alat Pembuatan Angklung
Untuk membuat angklung Padaeng dibutuhkan bahan dasar yang meliputi:
1.       Bambu hitam (bamboo wulung) dan bambu putih (tamiang) untuk tabung
2.       Bambu Tali untuk dasar
3.       Bambu gombong untuk tiang dan palang
4.       Rotan untuk mengikat.
5.       Peralatan,  seperti Golok, gergaji, bor dan alat penalaan

a.       Bambu Hitam












b.      Bambu Tali






c.        Bambu Gombong









d.      Rotan





e.      Golok








                   
f.        Gergaji









g.       Pisau Raut









h.      Bor

Tahapan Pembutan.
Tahapan pembuatan angklung meliputi :
1.       Tahapan pemilihan Bahan bambu.
Bambu untuk bahan tabung (bambu hitam)  berusia antara 4 – 6 tahun. Ditebang 2 sd 3 jengkal dari dasar, penebangan sebaiknya dilakukan pada  musim kemarau. Setelah ditebang dibiarkan sekitar satu minggu agar diharapkan bambu yang ditebang benar-benar kering.
2.       Tahapan pengeringan
Untuk menghindari gangguan hama dilakukan proses sebagai berikut :
a.       Direndam di dalam kolam selama satu tahun atau;
b.      Diasapi/diunun; atau
c.       Diberikan larutan kimia.
3.       Tahapan pembuatan, yang terdiri dari :
a.       Pembuatan rangka
b.      Pembuatan tabung
c.       Penalaan
d.      Perangkaian.
Proses penalaan/penyeteman




















TEKNIS/ANATOMI/WUJUD
a.      Angklung Padaeng

b.      Angklung Buhun/tradisi




Kategorisasi/model/ragam
A.      Angklung Buhun
1.     Angklung Badeng










Nama                    : Angklung Badeng
Asal Daerah        :  Kabupaten Garut
Fungsi Sosial       :  Sarana Hiburan untuk kepentingan dakwah Islam (abad ke 16 dan 17) sebelumnya digunakan untuk ritual-ritual pada acara penanaman padi.
Alat yang dipergunakan                :
·         2 Angklung roel
·         1 angklung kecer
·         4 angklung indung dan angklung bapak
·         2 angklung anak
·         2 buah dog dog
·         2 buah terbang/gembyung
·         Kecrek.
Lokasi:  Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut



1.      
2.     Angklung Bungko


Nama                     : Angklung Bungko
Asal Daerah          : Kabupaten Cirebon
Fungsi Sosial         : Sarana hiburan untuk sarana Dakwah Islam (sekitar abad 17)
Alat yang dipergunakan:
Angklung pentatonic (da mi na ti la )
Gendang
Tutukan
Klenong
Goong
Lokasi : Desa Bungko









3.     Angklung Badud

Nama                                 : Angklung Badud
Daerah                               : Kota Tasikmalaya
Fungsi Sosial                     : dipergunakan untuk mengantar dan menghibur sunatan
Alat yang dipergunakan    :
Angklung pentatonic 
Dog dog 4 buah (tilingtit, panempasan (engklok), bangbrang, badublag)
Angklung
Lokasi:  Kampung Parakanhonje, Kelurahan Sukamaju Kaler, Kecamatan Indihiang,  Kota Tasikmalaya



4.      Angklung Buncis
Nama                    : Angklung Buncis
Daerah                 : Kabupaten Bandung
Fungsi Sosial       : Acara-acara yang berhubungan dengan padi
Alat yang dipergunakan :
2 Angklung Indung
2 Angklung Ambrug
2 Angklung Panempas
2 Angklung Pacer
1 Angklung enclok
3 buah dog dog (talintit, panembal, badublag)
Tarompet
Kecrek
goong
daerah : Arjasari Banjaran Bandung
















5.       Angklung Dog dog Lojor
 

Nama                     : Angklung Dog dog Lojor
Daerah                   : Kabupaten Sukabumi
Fungsi Sosial         : Memohon kepada yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan bila saat kemarau tiba.
Alat yang dipergunakan :
Dua buah Dog dog Lojor
4         buah Angklung (Gonggong, Panembal, Kingking, dan Inclok


6.       Bangklung
Nama                     : Bangklung
Daerah                   :Kabupaten Garut
Fungsi Sosial         : Untuk menyebarkan agama Islam
Alat yang dipergunakan :
5 Terebang
7 Angklung Badud
Lokasi:  Kampung Babakan Garut, Desa Cisero, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut








B.      Angklung Padaeng (angklung diatonic)


Nama                          : Angklung Padaeng
Daerah                                    : Jawa Barat
Fungsi Sosial                : Pendidikan
Angklung Padaeng terdiri dari 2 (dua) kelompok besar yaitu :
1.       Angklung Melodi
2.       Angklung Pengiring


No comments:

Post a Comment

LAGU CINTA UNTUK KEKASIH