Sejak SK Mentri Pendidikan dan Kebudayaan no 082 tahun 1968 tentang Penetapan Angklung
Sebagai Media Pendidikan di Sekolah angklung sebagai objek dari SK tersebut belum
memenuhi apa yang telah di tetapkan SK
tersebut. Hanya segelintir sekolah yang memandang serius angklung sebagai alat
pendidikan yang dimaksud SK tersebut. SD
BPI Kota Bandung, SD Lab School di Cibiru Kota Bandung, serta SMP Waringin Kota
Bandung merupakan contoh sekolah-sekolah
yang memasukan angklung bukan hanya sekedar kegiatan ekstra kurikuler melainkan
dimasukannya ke dalam kurikulum untuk
mengisi mata pelajar muatan local sehingga setiap anak didik memperoleh
pembelajaran angklung selama satu jam setiap minggunya. Sementara hampir
mayoritas sekolah baik itu tingkat dasar maupun menengah menjadikan angklung
sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang
hanya diikuti oleh siswa didik yang memiliki ketertarikan kepada alat
pendidikan ini. Dan dari sekian sekolah yang ada pelaksanaan pendidikan dengan
menggunakan angklung banyak juga yang hanya menjadikannya sebagai alat ceremony
untuk mengisi kegiatan akhir tahun (perpisahan) dan penyambutan tamu tertentu.
(berdasarkan kegiatan tidak berkesinambungan)
Sementara untuk tingkat perguruan tinggi, angklung diperlakukan sebagai
bagian dari kegiatan yang bersifat unit-unit kegiatan (UKM) seperti KABUMI UPI
Bandung, GENTRA SEBA STBA YAPARI Bandung, KPA ITB, dll. Sementara
jurusan-jurusan pada Fakultas Seni Budaya, Angklung hanya diajarkan sebagai
bagian yang marginal (hanya 2 SKS ) disamping alat musik lain yang SKS nya
tentunya lebih banyak. Namun hal yang menggembirakan di tahun 2012 ini adalah
adanya dibukanya “Jurusan Musik Bambu “
di STSI Bandung. Walaupun belum jelas bagaimana struktur kurikulumnya namun
tentunya ini merupakan hal yang cukup menggembirakan. (mudah-mudahan di usung
bukan karena desakan UNESCO atas upaya pewarisan yang diharuskan).
Disamping di Sekolah atau Lembaga
Pendidikan, beberapa organisasi kemasyarakatan menyelenggarakan kegiatan
angklung, baik itu yang memang berorientasi bisnis maupun orientasi social,
bahkan sekarang memang sedang dikembangkan penggunaan musik angklung sebagai
media penyembuhan penyakit tertentu, serta dipergunakannya angklung sebagai
media untuk pelatihan manajemen.
Dalam beberapa diskusi serta saresehan-saresehan yang membahas tentang
perkembangan angklung seringkali dibahas mengenai permasalahan-permasalahan
yang menyangkut perkembangan angklung di
sekolah. Salah satu yang menjadi sorotan perkembangan angklung di sekolah
adalah “KURANGNYA PELATIH ANGKLUNG”. Hal
ini sering dianggap sebagai penyebab kurang berkembangnya angklung di Sekolah
(walaupun nota bene setiap sekolah memiliki Guru BIdang Studi SENI).
Di atas kertas seharusnya sekolah kita tidak kekurangan pelatih angklung
karena alasan adanya Guru Bidang Studi tadi, karena angklung khususnya di sini
angklung Padaeng memiliki prinsip mudah
untuk dimainkan, setiap orang yang hari ini memegang maka saat itu pun
dapat memainkannya. Sehingga sangat ironis ketika kita berbicara kekurangan
pelatih angklung di tengah-tengah keberadaan jurusan seni di perguruan tinggi
yang walaupun dalam “perhatian yang kecil” tetap menjadikan angklung sebagai
alat musik yang harus di”ketahui” oleh mahasiswanya.
ANTARA PENGADAAN ANGKLUNG DAN KETERSEDIAAN PELATIH/GURU ANGKLUNG
Baru-baru ini beredar kabar tentang adanya pengadaan angklung buat
sekolah khususnya di Jawa Barat, kabar yang menggembirakan namun sekaligus agak
mencengangkan, mengagetkan karena beberapa sekolah yang memiliki angklung tidak
mempunyai pelatih yang akhirnya angklung tidak difungsikan sebagai alat
pendidikan tadi melainkan sebagai alat pajangan sekolah serta tempat
berkumpulnya “debu serta rayap yang gemar hidup pada bambu sebagai bahan
dasar”. Bisa di perkirakan jika pengadaan angklung tersebut terlaksana tampa di
sertai oleh keberadaan pelatih yang nantinya akan mempergunakan angklung
sebagai alat pendidikannya.
Dari beberapa Festival yang diselenggarakan Festival angklung Bianglala,
Festival Musik Angklung oleh ITB, Lomba Musik Angklung Padaeng oleh KABUMI UPI
Bandung, dan festival lainnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa beberapa
sekolah dilatih oleh pelatih yang sama. Gambaran ini jelas memberikan arah bahwa
memang keberadaan pelatih angklung memang sangat mendesak disamping pengadaan
angklung itu sendiri. Lalu ketika kita menohok kepada perlakuan sekolah kepada
pelatih angklung, kita juga tentunya akan berpikir ulang penyebab kurangnya
pelatih khususnya dan musik angklung di sekolah pada umumnya.
Sebagai gambaran umum perlakuan sekolah kita kepada pelatih angklung
belum mampu untuk disejajarkan dengan anggapan perlunya angklung dihidupkan di
sekolah. Secara diplomatis sekolah dan instansi yang terkait di dalamnya sangat
menyadari dan membutuhkan keberadaan musik angklung di sekolah, namun di sisi
lain ketika dihadapkan pada nilai nominal yang harus dikeluarkan untuk
memberikan honor atau penghargaan menjadi sangat terbalik dengan hal yang
secara diplomatis tadi disebutkan. Dengan tidak salah rasanya jika pelatih
angklung yang ada memilih mengajar di beberapa sekolah, dan bibit pelatih
angklung yang ada tidak tumbuh subur karena dihadapkan pada realitas yang tidak
mampu memberikan jaminan dirinya untuk berkarya.